Sekilas tentang Teori Politik Islam Oleh: Dr. Sayid Mujtaba Rukni Musawi Lari – Intelektual Iran (ISLAM-28)

ISLAM-28

www.jurnalparlemenonline.wordpress.com

(5 Desember 2009)

Sekilas tentang

Teori Politik Islam

Oleh: Dr. Sayid Mujtaba

Rukni Musawi Lari

Intelektual Iran

Catatan Redaksi:

Tulisan ini pernah dimuat dalam

http://forumsptn-politico-questionnaire.blogspot.com pada tanggal 17 Agustus 2007.

Teori politik modern (Barat) sangat mengagungkan “kehendak umum atau rakyat”. Pemerintahan demokratis mencoba merealisasikan kehendak umum tersebut dalam praktik nyata dengan menciptakan peraturan dan perundang-undangan yang berpijak pada suara “mayoritas rakyat” (cukup membutuhkan 51 persen), meskipun mengabaikan aspirasi minotitas (padahal besarnya bisa mencapai 49 persen). Dengan demikian, kelompok minoritas tidak mendapatkan “kebebasan” seutuhnya, kendati eksistensinya legal dan memiliki pandangan-pandangan yang tepat dan benar (credible). Artinya, “pemerintahan yang berdasarkan pada kehendak rakyat” tidak akan pernah melahirkan kepuasan serta keikhlasan karena bisa saja mengabaikan nilai-nilai spiritual.

Di lain pihak, Islam memberi hak lebih tinggi bagi perealisasian “Kehendak Tuhan” melebihi berbagai kecenderungan serta nafsu yang sulit terkontrol, di mana ia sering kali terdapat pada mayoritas manusia (Al-Qur’an 6 : 116 — Penerjemah). Islam menolak pengabaian nilai-nilai Ketuhanan dalam pembuatan hukum dan perundang-undangan. Konsepsi Islam tentang Ketuhanan dan “Pemerintahan Ilahi” cukup luas, meliputi berbagai aspek kehidupan manusia di manapun ia berada. Sehingga, seharusnya kaum Muslimin bisa berperan sebagai pelindung bagi kelompok lainnya. Tentu saja hal ini memerlukan ketaatan total pada perundang-undangan dengan didasarkan pada keyakinan bahwa ia merupakan anugrah Allah; dan oleh karenanya tidak satu pun manusia berhak memperturutkan keinginan-keinginan atau hawa nafsunya untuk mendiktekan berbagai tindakan pelanggaran atas peraturan dan perundang-undangan itu.

Muncul pertanyaan, bagaimana manusia bisa berkomitmen secara total bahwa Tuhan mengatur seluruh aspek kehidupannya (QS 6 : 162 — Pen), sementara mereka mengambil aturan-aturan yang bersumber dari selain-Nya? Tidak satu pun manusia dapat menentang otoritas Ilahi, dan menganggap diri sebagai sekutu Allah SWT; juga tidak satu pun yang dapat menggantikan kedudukan-Nya sebagai “Pencipta Aturan”. Islam memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan manusia; dan kebenaran serta keadilan tersebut tidak eksklusif terspesialisasi pada masalah-masalah sosial, hukum, budaya, politik, dan keuangan, tetapi juga sandang, pangan dan papan, di mana kesemuanya itu dapat meningkatkan martabat manusia itu sendiri.

Bentuk fisik manusia diciptakan demikian indah. Sehingga, harus ada ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang dapat mengatur kehidupannya. Tidak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki pengetahuan sempurna mengenai berbagai misteri penciptaan manusia, atau juga komplikasi struktur sosial yang menyertai kehidupannya. Dan struktur unit ini mencakup berbagai bidang terspesialisasi yang erat kaitannya dengan “badan” dan “jiwa” (juga rukhPen), baik itu ditinjau secara individu maupun dalam hubungan interpersonal. Juga tidak ada yang dapat mengklaim bahwa ia steril dari dosa, kealpaan, kekurangan, atau pun kesalahan. Sulit bagi siapa pun untuk mampu memahami segala hal yang bisa membuat manusia bahagia dan hidup dalam kedamaian (lahir dan batin — Pen).

Kendati berbagai upaya telah dicurahkan oleh sejumlah pemikir atau peneliti untuk memahami misteri manusia, namun aspek-aspek yang telah berhasil mereka temukan masih saja sangat terbatas. Dr Alexis Carrel mengatakan, “Manusia telah melakukan upaya-upaya dahsyat guna memahami dirinya. Meski telah diperoleh hasil-hasil observasi berharga yang dikumpulkan oleh para ilmuwan, filsuf, sastrawan, dan mistikus besar yang hidup dalam berbagai zaman, tetapi tetap saja masih terbatas atau terkungkung pada aspek tertentu. Manusia tidak akan pernah memahami dirinya secara utuh. Pemahaman kita hanya sebatas pengenalan bahwa manusia merupakan susunan dari bagian-bagian yang beragam; dan bahkan bagian-bagian tersebut dicitrakan dari metode kita sendiri. Setiap orang dipengaruhi oleh prosesi aneka kekhawatiran atau ketakutan, di mana hal tersebut akan mengarahkan mereka kepada sebuah realitas yang tidak diketahui.” (“Man, the Unknown”, halaman 4).

Tanpa berpijak pada pemahaman utuh tentang penciptaan manusia, siapa pun tidak akan dapat membuat suatu kerangka hukum dan peraturan yang benar-benar cocok dengan keadaan manusia itu sendiri; juga tidak akan dapat secara adil dilakukan penyelesaian atas masalah-masalah yang muncul. Ini terlihat seperti pada adanya usulan atau gagasan ceroboh pada pembuatan undang-undang, atau terjadinya “perubahan mendasar” yang berlangsung secara terus menerus atas suatu perundang-undangan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah baru yang aktual, dan juga hal-hal kecil dan samar lainnya yang tidak diperkirakan sebelumnya [belum lagi dengan mempertimbangkan kemungkinan konflik yang ditimbulkan sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut, di mana kemungkinan eskalasenya bukan saja berlangsung dalam domain vertikal (terbatas pada para elite politik), tetapi juga horizontal (grass root level) — Pen].

Motif-motif keuntungan pribadi, kecenderungan diri, ambisi, kekuasaan (seperti perebutan jatah kursi kekuasaan — oleh beberapa partai politik — pada lembaga-lembaga pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara / BUMN; termasuk politik dagang sapi — Pen), keuntungan material, dan kegemaran untuk mengeksploitasi lingkungan hidup, akan mengarahkan para pembuat undang-undang tersebut kepada penyimpangan fatal, sadar atau tidak sadar. Sekaitan dengan pembuatan undang-undang ini, Montesquieu berkata: “Tidak akan pernah ada keobyektifan dan keadilan sesungguhnya dalam rancangan perundang-undangan yang diusulkan oleh para pembuat undang-undang itu karena mereka sangat dipengaruhi oleh ide-ide dan motif-motif pribadi / kelompok.” [Dalam konteks pemikiran Qur’ani, diindikasikan adanya manusia-manusia yang disucikan oleh Allah (QS 33 : 33), di mana mereka inilah yang patut dijadikan panutan dalam berbagai praktik kehidupan, lahir dan batin, termasuk dalam menjalankan pemerintahan. Lalu, apakah klaim Tuhan untuk memberikan hak prerogatif atas mereka merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip “demokrasi” dan “keadilan universal”? Jawaban atas pertanyaan ini akan menggiring kita untuk memasuki wacana ilmiah dengan entry point pada filsafat Al-Qur’an, baik ditinjau dari dimensi empiris maupun spiritual — Pen]. Sekadar contoh, Aristoteles (pemikir cemerlang dan moralis besar di zaman Yunani kuno — Pen), karena iri, pernah memengaruhi Alexander untuk mencemarkan nama Plato yang notabene sangat dikaguminya.

Slogan modern: “Kebebasan dan Persamaan” (Liberty and Equality) dan “Kehendak Umum atau Rakyat” (Public Will) merupakan slogan-slogan hampa yang digunakan oleh para politisi untuk mendapatkan dukungan dalam rangka meloloskan rancangan undang-undang atau peraturan yang mereka usulkan. Sesungguhnya, undang-undang yang mereka buat itu tidak merepresentasikan keinginan rakyat, tetapi lebih kepada keinginan para kapitalis [dan kelompok kepentingan (the interest group) tertentu yang hendak mempertahankan status quo atau juga memperluas domain kekuasaannya (baca: “lingkaran pengaruhnya” atau “jajahannya”) — Pen].

Henry Ford menulis tentang Inggris, yang mengklaim diri sebagai “Ibu Demokrasi”: “Kita tidak bisa melupakan pemogokan umum di tahun 1926, atau cara yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi peristiwa itu, di mana mereka menggunakan berbagai instrumen kekuasaan yang dimilikinya. Parlemen sebagai alat para kapitalis, mengumumkan bahwa pemogokan tersebut tidak kostitusional dan ilegal; dan menganjurkan polisi serta tentara untuk menumpas para pemogok dengan peluru dan tank. Sementara itu, dalam berbagai media massa, seperti radio dan surat kabar, dipropagandakan bahwa pemerintah adalah pelayan bagi kaum buruh (pekerja), padahal pemimpin-pemimpin mereka diancam hukuman penjara.

Khrushchev berpidato pada “Kongres Sovyet Tertinggi” (Supreme Soviet Congress) yang ke-22: “Dalam era pemujaan individu (yakni dalam masa kekuasaan Stalin), korupsi banyak merasuki kepemimpinan partai (komunis), pemerintahan, dan lembaga-lembaga keuangan. Di saat itu diumumkan dekrit yang menginjak-nginjak hak-hak rakyat, yang diikuti dengan penurunan kapasitas produksi industri, penebaran rasa takut pada setiap orang, penyuburan budaya menjilat, dan upaya memata-matai serta pembunuhan karakter (character-assassins) lawan-lawan politik.

Dengan demikian, baik sistem pemerintahan Barat (baca: liberalisme atau neoliberalisme) maupun Timur (baca: komunisme atau pun sosialisme) jelas gagal dalam penyamarannya di balik isu “kehendak umum atau rakyat”, “mekanisme atau sistem parlementer” dan “perwakilan rakyat”. Keduanya merupakan sistem yang tidak adil karena mengabaikan ketentuan Ilahi (basa: sunnatullah), yang telah disiapkan oleh Yang Maha Kuasa untuk kebaikan manusia itu sendiri. [**]

____________________________________

Tulisan ini diterjemahkan dari buku: “Western Civilization Trough Muslim Eyes” (1977) oleh Forum Studi Politik dan Teknologi Nasional (Forum SPTN).

Tinggalkan komentar