Fungsi MPR Sekarang, Kurang Gambarkan Ketentuan UUD 45 (KLIPING-MPR 1)

KLIPING-MPR 1

www.jurnalparlemenonline.wordpress.com

Fungsi MPR Sekarang, Kurang

Gambarkan Ketentuan UUD 45

Jakarta, Kompas, 6-7-1989.

Fungsi yang sekarang dijalankan MPR kurang menggambarkan ketentuan UUD 1945 sebagai lembaga tertinggi negara. Karena itu kurang dapat dikatakan jika MPR telah menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana ditetapkan dalam UUD.

Cara kerja yang menjadi kebiasaan MPR saat ini hanya bersidang satu kali dalam lima tahun dengan waktu yang amat terbatas. Fungsi yang dijalankan MPR dalam sidang itu yakni, mendengarkan pertanggungjawaban  Presiden / Mandataris, menetapkan GBHN, membuat berbagai ketetapan MPR dan memilih presiden serta wakilnya.

”Konsep penapatapan GBHN telah dibuat pemerintah.  Memang pemerintah selalu mengatakan jika MPR tidak terikat untuk menggunakan konsep itu.  Tetapi karena waktu sidang yang terbatas dan kenyataan sekarang pengaruh pemerintah lebih besar dalam lembaga perwakilan, maka dalam setiap kenyataan MPR hampir tidak pernah keluar dari konsep yang telah dibuat pemerintah,” ujar Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam seminar memperingati 30 tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hari Rabu di Jakarta.

”Setelah pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden, fungsi MPR untuk lima tahun sudah selesai.  Padahal ia baru menjalankan fungsinya karena anggotanya juga baru diambil sumpahnya untuk lima tahun mendatang,” sambung Sayidiman.

Dalam seminar yang diselenggarakan Yayasan Pembangunan Insan Indonesia itu, KH Abdurrahman Wahid juga tampil sebagai pembicara lain di samping Dr Roeslan Abdulgani yang hadir memberikan sambutan.

Menurut Sayidiman, sekurang-kurangnya MPR memerlukan sidang sekali lagi setelah sidang yang pertama itu.  Walaupun penyelenggaraan negara sehari-hari perwakilan rakyat dilakukan oleh DPR, tetapi wewenang DPR tidak sama dengan MPR.  Ditambahkan, sidang kedua itu untuk memberikan kemungkinan kepada MPR untuk menjalankan fungsinya sebagai pemegang kedaulatan rakyat secara lebih luas.

Di samping itu, MPR harus mempunyai suatu badan pekerja yang bekerja terus-menerus.  Badan tersebut akan  menyiapkan konsep yang akan dibicarakan dalam sidang MPR mendatang, di samping menyiapkan konsep GBHN serta segala ketetapan.

”Melalui pengaturan demikian, partisipasi rakyat dalam sistem politik kita menjadi lebih terjamin,” kata Sayidiman.

Keanggotaannya lemah

Ia juga melihat sistem penentuan anggota MPR yang berlaku sekarang sebagai kelemahan pokok. Dalam penentuan anggota MPR, anggota dihasilkan dengan sistem pemilihan dan sebagian diangkat oleh pemerintah.  Masalahnya, sistem yang saat ini diterapkan adalah sistem proporsional.  Dalam sistem ini, rakyat  memilih dan menentukan organisasi mana yang dipilih, bukan memilih orang untuk duduk dalam lembaga perwakilan.  Orang yang duduk dalam lembaga perwakilan itu pun akhirna dipilih oleh orpol.

”Dapat dikatakan bahwa anggota itu bukan mewakili rakyat, tetapi mewakili pihak yang telah mengangkatnya.  Jadi mereka mewakili pemerintah dan orpol,” ungkap Sayidiman.  Dengan begitu, lanjut Sayidiman, MPR sukar dinamakan penjelmaan seluruh rakyat seperti yang dikehendaki UUD 45.

Menurut Sayidiman, MPR baru dapat mewakili rakyat jika seluruh anggotanya juga dipilih rakyat.  Jika selama ini ABRI tidak boleh memilih dan dipilih, maka hanya anggota ABRI saja yang boleh diangkat oleh pemerintah untuk duduk di lembaga perwakilan.

”Aturan ABRI tidak boleh dipilih dan memilih hanya konsensus antar antar pimpinan parpol tahun 66.  kalau konsensus itu mau diubah, bisa saja,” kata Sayidiman.

Sayidiman menawarkan sistem distrik untuk pemilihan wakil rakyat.  Dengan sistem itu rakyat dapat benar-benar memilih wakilnya.

Belum Seimbang

Sementara itu Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama. Abdurrahman Wahid melihat, UUD 45 memberikan kekuasaan yang besar kepada lembaga eksekutif, bukan kepada legislatif.

Dikatakan, UUD 45 dalam redaksi yang sekarang diciptakan untuk menampung keragaman kehidupan bangsa yang tinggi untuk dapat ”hidup berdampingan secara damai”.  Akibatnya, UUD 45 merumuskan sebuah sistem yang sesuai dengan kebutuhan tersebut, yaitu yang memberikan peranan sangat besar kepada Presiden Mandataris MPR untuk mengambil inisiatif  dan berusaha mencapai konsensus secara nasional.  Dengan demikian, mandat yang diberikan MPR kepadanya bersifat mandat penuh, artinya tanpa spesifikasi prosedural.

”Kekaburan prosedurak ini dengan sendirinya mengakibatkan kokoh dan kuatnya kedudukan pihak eksekutif di hadapan pihak yudikatif dan legislatif,” ujar Abdurrahman Wahid.

”Karena yang dirumuskan adalah pembagian tugas belaka, sementara wewenang dimiliki bersama oleh ketiga pihak secara kolektif, maka sudah tentu peranan pihak eksekutif menjadi sangat besar, karena pihak itu berfungsi sebagai motor pencapaian konsensus,” ujar Cak Dur.

Hal senada juga disebutkan Sayidiman.  Ia juga melihat tidak ada keseimbangan antara pihak eksekutif  dan legislatif.  Akibatnya pemerintah sama sekali tidak atau tidak mau dipengaruhi oleh DPR.  Tetapi diakui oleh Sayidiman maupun Cak Dur, eksekutif yang kuat baik bagi negara, karena akan dapat menjalankan segala kepentingan negara dengan lancar.

”Sejauh ini, sistem pemerintahan yang digariskan UUD 45 telah berhasil menetapkan kehidupan bangsa dalam arti menjaga keutuhan teritorial dan ideologi bangsa kita,” ujar  Cak Dur.

”Akan tetapi kalau kurang ada kemungkinan untuk dikontrol, maka eksekutif yang kuat itu cenderung berbuat hal-hal yang tidak selamanya sesuai dengan kepentingan rakyat,” ingat Sayidiman.

Ketidakseimbangan antara legislatif dengan eksekutif itu pun mengakibatkan kebanyakan rancangan unang-undang keluar dari pihak eksekutif.  Sementara pihaklegislatif (DPR) tidak mempunyai staf ahli yang bisa mempersiapkan rancangan itu.  ”Walaupun berhak, tidak pernah terjadi DPR menolak RAPBN dari pihak pemerintah karena posisi yang kuat dari pemerintah,” lanjut Sayidiman.  Hal lain akibat kuatnya lembaga eksekutif ini adalah tidak adanya yang bersikap korektif terhadap pemerintah.  Selain itu juga kuatnya norma feodal yang seakan-akan membuat pemerintah tidak pernah berbuat salah, dan apa yang keluar dari pemerintah serba benar,” tambahnya.

Untuk memperoleh perwujudan kedaulatan rakyat yang lebih sesuai dengan UUD 45 itu, perlu ada penyempurnaan.  Di antaranya menurut Sayidiman, menyangkut pemilihan anggota lembaga legislatif, pengaturan baru yang mengharuskan menteri bertanggung jawab kepada DPR, dan hanya Presiden dan wakilnya yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

Sedang menurut Cak Dur, harus dirinci distribusi wewenang antarlembaga pemerintah.   Memberi wewenang yang lebih besar kepada lembaga legislatif dan yudikatif  serta menyeimbangkannya dengan eksekutif, ”tanpa merongrong kekuasaan Presiden, ujar Cak Dur. (ush)

1 Responses to Fungsi MPR Sekarang, Kurang Gambarkan Ketentuan UUD 45 (KLIPING-MPR 1)

  1. DUA JAM BERSAMA SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO

    Oleh Dasman Djamaluddin

    Bertemu dengan pejuang yang ikut mendirikan republik ini bukanlah perkerjaan yang sia-sia. Orang boleh aja menjuluki mereka “pasukan tanpa laskar.” Orang boleh saja menjuluki pasukan “gaek-gaek.” Tetapi jangan duliu berbicara fisik.Lihatlah semangat mereka. Usia boleh tua, karena sudah 83 tahun, tetapi soal semangat, soal masih mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ituah yang pertama saya rekam ketika dua jam bersama Sayidiman Suryohadiprojo, hari Kamis, 18 Oktober 2010 pagi di rumahnya Jl.Kartanegara, Kebayoran Baru.

    Tak tersirat rasa lelah di wajahnya. Guratan guratan wajah boleh saja tidak bisa disembunyikan, tetapi tubuh meski kurus, masih tegap sebagai seorang pejuang. Lahir di Bojonegoro (Jawa Timur) tahun 1927. Lulusan Akademi Militer RI di Yogyakarta tahun 1948. Sebagai amggota TNI-AD, ia telah aktif dalam perang kemerdekaan dan sesudah itu, juga dalam masalah-masalah keamanan dalam negeri, seperti Darul Islam, PRRI-PERMESTA dan Gestapu PKI. Ia mulai kariernya sebagai Komandan Peleton di Divisi Siliwangi dan selanjutnya meningkat menjadi Komandan Kompi dan Komandan Bataliyon. Setelah itu menjadi Komandan Resimen Taruna di Akademi Militer Nasional, sebelum menjadi Perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat. Pada tahun 1968, ia diangkat sebagai Panglima Kodam XIVHasanuddin di Sulawesi Selatan. Tahun 1974, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional sebelum diangkat menjadi Duta Besar RI di Jepang tahun 1979.

    Sayidiman dikenal pula sebagai penulis, Banyak buku militer yang ditulisnya. Ada rasa kecewa yang diungkapkannya ketika pembicaraan sudah berlangsung agak lama. Dia sangat memprihatinkan bahwa Pancasila belum menjadi kenyataan di bumi Indonesia. Pancasila yang digali oleh Bung Karno, pun pada saat-saat terakhir pun gagal diwujudkan oleh Proklamator kita itu. “Pada saat itu kita gagal mensejahterakan rakyat. Bangsa kita di akhir pemerintahan Soekarno miskin sekali,” ujarnya lirih. “Bukankah tujuan didirikan negara ini untuk mensejahterakan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya untuk segelintir orang atau golongan?,” tanyanya.

    Begitu pula di masa Soeharto. Awalnya memang Orde Baru ingin menegakkan Pancasila dengan konsekuen. Pun di akhir pemerintahan Soeharto, Pancasila seakan-akan disamakan dengan budaya kapitalisme, Materialisme, Individualisme dan pragmatisme, untung rugi. “Ini tidak cocok dengan budaya bangsa Indonesia yang asli, yang penuh dengan hidup bergotong royong dan sikap hidup berdasarkan prinsip,” tegasnya. “Ini sangat terlihat dari Amandemen UUD 1945 di masa Reformasi. Saya menganggap ini bukan lagi UUD 1945. Oleh karena itu kembalikan jati diri bangsa agar bangsa ini memiiliki jati dirinya yang khas. Evaluasi UUD 1945 yang di amandemen itu,” seru Sayidiman.

Tinggalkan komentar