Undang-Undang Keamanan Nasional dan Pemerintah Sebagai Sumber Ancaman Bagi Keamanan Negara (TNI / POLRI-6)

TNI / POLRI-6

www.jurnalparlemenonline.wordpress.com

(4 Desember 2009)

Undang-Undang Keamanan Nasional dan

Pemerintah

Sebagai Sumber Ancaman Bagi Keamanan

Negara

Catatan redaksi:

Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal DPD Plus DIGITAL

No. 12 / Tahun Ke-1, 21 Februari 2007

(juga dalam http://forumsptn-indo-military-watch.blogspot.com).

“Pemerintah harus mampu memenuhi janjinya, terutama untuk menyejahterakan rakyat. Jika itu gagal, bukan tidak mungkin justru pemerintah yang menjadi sumber ancaman bagi keamanan negara,” demikian Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, seusai mengikuti pertemuan rektor universitas negeri dan swasta se-Indonesia dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (Kompas, 21 / 2 / 2007). Lebih lanjut Sofian menyatakan, kemiskinan, pengangguran, dan kesengsaraan rakyat berpotensi mengancam keamanan negara, terutama jika pemerintah tidak segera bisa mengatasi atau meyakinkan rakyat bahwa pemerintah selama ini sudah berbuat sesuatu. Kalau rakyat melihat pemerintah gagal membuktikan janjinya, itu dapat memicu kekecewaan dan kemarahan. Kondisi itu rentan dimanfaatkan berbagai kelompok, terutama yang beraliran ekstrim.

Selain itu, Sofian juga mengingatkan, tak hanya dipengaruhi untuk melakukan kekerasan, rakyat yang kecewa juga sangat rentan dimanfaatkan untuk menjatuhkan pemerintahan. “Indeks yang dipakai patokan di negara mana pun adalah tingkat kesengsaraan, yang terdiri dari kombinasi tingkat inflasi dan angka pengangguran. Kalau kita lihat, tingkat kesengsaraan di Indonesia kini mencapai 30 persen,” ujar Sofian.

Jika persentase itu terus naik sampai 45 persen, Sofian memastikan sulit meyakinkan rakyat bahwa pemerintah sudah berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah itu. Ini diperburuk kemiskinan yang bertambah dan bencana yang silih berganti. “Kondisi seperti itu saya lihat justru menjadi ancaman bagi keselamatan negara selain ancaman yang bersifat fisik,” tambah Sofian.

***

Jurnal DPD Plus DIGITAL (Forum SPTN) Nomor 6 sudah memuat “Dialog Imajiner Dengan Jenderal Reformis” tentang “Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional” (UU Kamnas) versi pemerintah. Dengan pernyataan Sofian Effendi tersebut kita mau bertanya, dari segi realitas obyektif, mana yang potensinya lebih besar menimbulkan ancaman besar, obyek-obyek yang diatur (diwaspadai) dalam RUU Kamnas itu ataukah ancaman yang ditimbulkan dari pihak pemerintah sendiri akibat ketidakmampuannya mengatasi pengangguran dan kemiskinan massal (struktural)?

Dalam konstitusi sudah diatur tentang tugas negara dalam mensejahterakan rakyat (lihat Pasal 33 dan 34 UUD 1945). Dan juga pemerintah telah membuat sejumlah undang-undang, peraturan, ketetapan, dan instruksi, juga aneka program seperti revitalisasi pertanian, atau berjanji hendak menerapkan kebijakan yang lebih tegas. Nah, kalau semua itu tidak bisa dipenuhi, apa sangsinya? Pemerintah bisa saja berdalih bahwa mereka bukan tidak mampu, tapi “belum” mampu karena adanya sejumlah kendala, misalnya akibat hambatan teknis atau faktor alam. Tapi, apakah perlu dibuat undang-undang khusus yang mengatur mekanisme untuk menguji kebenaran setiap pembelaan diri (apologi) pemerintah? Atau apakah itu perlu diatur dalam konstitusi, sehingga urgensi amandemen ke-5 UUD 1945 bukan saja timbul dari tuntutan tentang perlunya penguatan sistem parlemen dua kamar (dari soft bicameralism menjadi strong bicameralism) seperti yang gencar didesakkan oleh kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini? Ataukah apa pun kesalahan pemerintah — baik karena kelemahan (kesalahan) maupun faktor lain yang sulit dihindari —cukup diselesaikan melalui mekanisme Pemilu, sehingga kalau rakyat menganggap pemerintah tidak becus mengurus negara, maka ekspresi maksimal mereka cukup dengan tidak lagi memilih individu-individu (dalam pemerintahan) yang dianggap tidak bertanggung jawab dalam mengemban amanat menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu rakyat harus terus mempertebal rasa “sabar”.

Masalahnya, seandainya benar analogi kita bahwa kekeliruan pengendalian republik ini mirip dengan kesalahan seorang sopir yang membawa mobil (baca: angkutan umum) secara ugal-ugalan atau belum memenuhi syarat untuk menyopir di jalan raya, apakah para penumpang mobil (baca: rakyat) itu cukup mempertebal rasa sabar mereka dan terus berdoa moga-moga bisa tiba di terminal tujuan (baca: Pemilu) meski sudah dalam kondisi sempoyongan dan traumatik, bahkan jantungnya terasa mau copot? Dan apakah kesabaran seperti itu perlu dipupuk mengingat ada anjuran dari salah seorang penumpang mobil (baca: Ustadz selebriti) — yang duduk manis di dekat sopir — bahwa “kesabaran adalah sebagian dari iman” (assabr nisful iman) atau “sesungguhnya Tuhan beserta orang-orang yang sabar” (innallaha ma’assabirin)? Kita memang sering menyandera diri dengan pilihan-pilihan kita. Dan konyolnya, pilihan-pilihan tersebut — agar kelihatan shahih alias mutawattir — sering diberi justifikasi dengan lebel-lebel keagamaan. Matilah kita! [**]

_______________________

La Ode Zulfikar Toresano (Aba Zul)

adalah Koordinator Umum Forum Studi Politik dan Teknologi Nasional / Forum SPTN

(merangkap peneliti teknologi mesin industri pada forum yang sama).

1 Responses to Undang-Undang Keamanan Nasional dan Pemerintah Sebagai Sumber Ancaman Bagi Keamanan Negara (TNI / POLRI-6)

  1. subhan basri berkata:

    YANG PASSSS…

    masalah hukum atau undang-undang yang pas iyalah menerapkan hukum allah….. apakah itu hukum allah…?

    SYARI’AT ISLAM itu yang paling BENER……..!!!!!!

Tinggalkan komentar