TNI / POLRI-3
www.jurnalparlemenonline.wordpress.com
(4 Desember 2009)
Reformasi TNI?
(Wawancara Imajiner Dengan Jenderal Reformis)
Bagian III
Bisnis TNI dan Supremasi Sipil
Catatan Redaksi:
”Wawancara Imajiner” ini pernah dimuat dalam
Jurnal DPD Plus DIGITAL No. 5 / Tahun Ke-1, 3 Januari 2007
(juga dalam http://forumsptn-indo-military-watch.blogspot.com).
Jurnal DPD Plus DIGITAL (J-DPD Plus DIGITAL) / Forum SPTN (La Ode Zulfikar Toresano): Jenderal! Kita masih akan mengelaborasi empat asas tata kelola yang baik (good governance) seperti disinggung pada dialog atau wawancara “Bagian II”, tapi untuk kali ini cukup dipersempit sorotannya pada tata kelola bisnis TNI dan supremasi sipil. Jika good governance sangat diperlukan dalam membangun profesionalisme, maka — pada sisi tertentu — apa yang terjadi dalam proses reformasi TNI adalah perubahan yang sangat mendasar karena TNI berani dan rela melepaskan diri dari kegiatan bisnis (dan juga mengikrarkan untuk tidak terlibat dalam politik praktis). Masalahnya sekarang, bagaimana dengan usaha-usaha koperasi TNI yang justru masih dipertahankan?
Jenderal Reformis (JR): Itulah masalahnya. Di satu sisi TNI diminta untuk benar-benar profesional, misalnya dengan tidak berbisnis. Tapi, perlu disadari, di sisi lain anggaran untuk TNI masih sangat terbatas, bahkan untuk kesejahteraan anggotanya pun masih jauh di bawah standar. Dalam kondisi demikian, salahkah TNI mengelola unit-unit koperasi yang dimilikinya untuk sekadar menopang kebutuhan sehari-hari para anggotanya dan keluarga mereka? Bukankah hak berkoperasi ini dijamin dalam UUD 1945 (Pasal 33)?
J-DPD Plus DIGITAL: Kalau demikian, mungkin perlu pengaturan atau standardisasi economic scale dari koperasi-koperasi TNI yang sifatnya sekadar menopang kesejahteraan para anggota TNI dan keluarganya. Jenis-jenis usahanya pun harus diatur dalam undang-undang. Namun, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa masyarakat umum masih trauma dengan hal-hal yang bernuansa militer, termasuk yang melekat pada unit-unit koperasinya. Misalnya saja bisa jadi mobil koperasi TNI yang parkir pun tidak akan dimintai bayaran karcis karena nyali petugas karcisnya sudah terlebih dahulu anjlok.
Kemudian, jika terjadi konflik dalam aktifitas koperasi tersebut dalam relasinya dengan komunitas sipil, sudahkah dibuat sistem komprehensif yang bisa mengatur hambatan atau benturan-benturan psikologis antara dua komunitas itu?
Bagaimana pun superioritas dan hegemoni tentara di masa lalu (Orba) masih mengendap jauh di bawah sadar rakyat kita. Suatu saat, misalnya, Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman merasa perlu menggantungkan jaket tentara — yang didapatkannya saat latihan puncak TNI AD — di samping tempat duduk mobilnya untuk mempermudah urusan di jalanan Jakarta yang ruwet dan macet (Kompas, 11 / 12 / 2006). Dengan kondisi traumatik kolektif seperti itu bagaimana rakyat bisa membangun relasi bisnis — kendati sekadar dalam wadah koperasi — yang fair dengan TNI, sementara kita sudah sepakat bahwa fairness merupakan salah satu asas utama good governance, termasuk di organisasi TNI? Bukankah salah satu syarat kerjasama adalah adanya posisi yang setara (tanpa adanya hambatan-hambatan psikologis) di antara pihak-pihak yang bekerjasama sehingga bisa didapatkan mutual benefit (simbiosis mutualistik)?
JR: Anggapan seperti itu terlalu berlebihan, dan secara statistik tidak valid untuk dijadikan argumen. Tapi kalau pun itu betul, solusinya kan sudah ada yakni — antara lain — supremasi sipil dan penyelenggaran pengadilan umum bagi anggota-anggota TNI yang diduga terlibat kasus hukum dalam relasinya dengan warga sipil.
Salah satu pikiran pokok Carl von Clausewitz adalah bahwa peperangan (baca: Hankam) bukanlah hal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kelanjutan dari politik, atau bagian dari politik. Jadi sesungguhnya untuk membangun atau membentuk TNI yang benar-benar profesional adalah dengan memperkuat institusi demokrasi atau penguatan lembaga-lembaga politik. Ini kan berarti supremasi sipil itu sangat urgen. Maka, seharusnya masyarakat sipil juga perlu membangun kapasitas (capacity building) mereka sehingga bisa secara efektif mengawasi institusi militer (TNI), termasuk koperasinya. Yang kita saksikan selama ini justru masyarakat sipil (para politisi) gontok-gontokan. Dengan kondisi demikian, bukankah akan mengundang TNI untuk datang melerai. Lagi pula, para politisi atau pejabat sipil kita banyak yang kurang percaya diri (inferiority complex), dan selalu melibatkan TNI atau Purnawiran TNI dalam urusan-urusan mereka. Coba hitung, berapa banyak komisaris BUMN yang berasal dari Purnawirawan Petinggi TNI; atau juga Parpol yang menempatkan mereka (Purnawirawan Petinggi TNI) pada posisi-posisi strategis dalam partai.
Nah, kalau dulu kewenangan sipil banyak dipakai oleh TNI (ABRI), maka yang perlu diwaspadai dalam iklim demokratis kini adalah bahwa jangan sampai sipil melakukan kekeliruan yang sama. Dengan kata lain, pemimpin-pemimpin sipil jangan sampai over acting. Clausewitz berkata: “Die Aufgabe und das Recht der Kriegskunst ist hauptsachlich zu verhuten dasz die Politik Dinge fordert, die gogen die Natur des Krieges sind” [tugas dan hak ilmu perang (militer — J-DPD Plus DIGITAL) ialah terutama untuk menghindarkan bahwa politik menuntut hal-hal yang bertentangan dengan hakekat peperangan].
Jadi, jangan sampai para pemimpin sipil merampas kewenangan militer, kendati dalam era transparansi kini semua kebijakan militer harus terlebih dahulu dibahas di parlemen. Kewenangan seperti itulah yang perlu diatur dalam Undang-Undang TNI.
Perkembangan menarik baru-baru ini tentang Peradilan Militer yang mengatur bahwa anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum dapat diadili di Pengadilan Umum layak dipandang sebagai kemajuan monumental bagi pengembangan demokrasi dan supremasi sipil. Karenanya dapat dikatakan reformasi internal TNI sudah mulai memperlihatkan kemajuan.
J-DPD Plus DIGITAL: Tentu saja kewenangan TNI itu memiliki domain yang tegas yang perlu diatur dalam Undang-Undang TNI. Tapi ini pun kita harus hati-hati mengaturnya. Jangan sampai kita terperangkap pada pandangan Liddell Hart yang membedakan antara “the conduct of war” (yang menjadi tugas pengambil keputusan politik) dan “the conduct of military operations” (yang menjadi tugas pemimpin militer).
Keberatan kita atas pemikiran Liddel Hart dan para pendukungnya adalah: “Apa batasan-batasan military operation yang menjadi tugas pemimpin militer itu?” Dengan kondisi demikian, siapa yang berhak menilai dan menjamin bahwa military operation pasti sesuai dengan tujuan nasional (national aim) dan tidak bertentangan dengan politik luar negeri, politik dalam negeri, dan politik perekonomian nasional? Seandainya kebijakan military operation tidak sejalan dengan politik luar negeri, bukankah itu berarti bahwa lini pertahanan yang pertama dari negara sudah terkoyak? Bukankah tugas utama politik luar negeri adalah menjamin keamanan dan memajukan kepentingan-kepentingan negara dalam rangka pergaulan antar bangsa dan negara-negara di dunia? Dan bukankah politik pertahanan harus memberi dukungan kekuatan bagi politik luar negeri guna menempatkan negara pada posisi terbaik dalam mencegah kemungkinan peperangan? Pertanyaan selanjutnya, bukankah politik pertahanan juga sangat erat kaitannya dengan keadaan dan kedudukan negara dari segi geografis, struktur dan cita-cita politik dalam negeri, kondisi ekonomi, serta sifat-sifat dan tradisi atau kultur masyarakat?
JR: Kalau boleh saya mengutip sejarah Islam, misalnya, kita melihat betapa Rasulullah Muhammad SAW memberikan kebebasan kepada Salman al-Farisi (anak muda dari Persia) untuk menelurkan gagasannya membuat parit dalam Perang Khandak. Kendati demikian, keputusan terakhir tetap berada pada Rasulullah SAW sebagai pemimpin politik yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi.
Rasulullah SAW juga pernah mengutus Usamah untuk memimpin suatu ekspedisi militer; dan dalam ekspedisi itu Rasulullah SAW juga menetapkan code of conduct-nya (the conduct of military operations).
Untuk konteks kehidupan kita saat ini, apa jadinya jika setiap Pangdam, misalnya, memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu military operation? Terkait dengan itu, mestinya politik pertahanan kita harus ada titik berat, apa kah pada kekuatan di darat, di udara, atau di laut. Ini juga yang perlu ditegaskan dalam Undang-Undang TNI; juga termasuk tugas pokok dari masing-masing kesatuan. Jangan sampai dicampur-adukkan antara tugas mengumpulkan dan menganalisis informasi (intelligence duties) dengan melakukan interogasi (yang seharusnya menjadi tugas penegak hukum). Pencampuradukkan tugas-tugas seperti itu di masa Orba — yang antara lain — telah mencederai wibawa TNI (ABRI); dan saya yakin itu memiliki andil dalam memengaruhi pembentukan citra buruk TNI dalam bawah sadar rakyat Indonesia.
J-DPD Plus DIGITAL: Maaf, Jenderal! Bisakah pembicaraan menarik ini kita sambung pekan depan?
JR: Oh, silahkan, Bung. [**]
_______________________
La Ode Zulfikar Toresano (Aba Zul)
adalah Koordinator Umum Forum Studi Politik dan Teknologi Nasional / Forum SPTN
(merangkap peneliti teknologi mesin industri pada forum yang sama).
…An interesting Post I want to reply to later on over at …